Sebuah studi baru yang dilakukan para peneliti dari Woods Hole
Oceanographic Institute (WHOI) dan Aarhus University di Denmark,
menemukan fakta bahwa salah satu hewan yang memiliki tingkat kepunahan
paling tinggi adalah lumba-lumba sungai.
Lumba-lumba yang hidup di sungai Gangga, India, dianggap sebagai salah satu spesies tertua dari hewan air yang menggunakan teknik echolocation (biosonar), sebagai alat navigasi untuk mencari makan.
Dilansir Redorbit, Sabtu (6/4/2013), hasil studi yang diterbitkan dalam jurnal PLos ONE ini menemukan bahwa lumba-lumba sungai atau air tawar menghasilkan sinyal biosonar secara signifikan melalui intensitas suara dan frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan lumba-lumba laut.
“Lumba-lumba di peraian Gangga merupakan salah satu cabang evolusi paling kuno yang berasal dari paus bergigi. Temuan kami menunjukkan bahwa intensitas suara dan frekuensi pada lumba-lumba sungai, merupakan tahap awal perkembangan dari kemampuan biosonar yang saat ini dimiliki oleh lumba-lumba laut,” ungkap salah seorang mahasiswa doctoral Natural Science (NFU) di WHOI.
Peneliti mengklaim perbedaan antara lumba-lumba air tawar dengan lumba-lumba laut dikarenakan lingkungan tempat mereka tinggal. Lumba-lumba laut biasanya melintasi hamparan luas laut terbuka sehingga lebih mudah mencari makanan, sedangkan lumba-lumba sungai mengalami kesulitan saat mencari makanan yang berupa ikan kecil dan krustasea dengan jumlah sedikit.
Lumba-lumba sungai memetakan lingkungannya menggunakan biosonar. Ia akan terus memancarkan suaranya untuk dapat mendengarkan pantulan gema yang samar terdengar. Suara yang dipantulkan kembali mendandakan daerah-daerah yang memiliki persediaan makanan untuk lumba-lumba sungai.
Jenis lumba-lumba sungai yang terancam punah, saat ini hanya memiliki jumlah sekira seribu spesies. Selain karena kesulitan makanan, hal ini juga disebabkan ekosistem sungai yang semakin tercemar serta penangkapan secara berlebihan oleh manusia.
Lumba-lumba yang hidup di sungai Gangga, India, dianggap sebagai salah satu spesies tertua dari hewan air yang menggunakan teknik echolocation (biosonar), sebagai alat navigasi untuk mencari makan.
Dilansir Redorbit, Sabtu (6/4/2013), hasil studi yang diterbitkan dalam jurnal PLos ONE ini menemukan bahwa lumba-lumba sungai atau air tawar menghasilkan sinyal biosonar secara signifikan melalui intensitas suara dan frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan lumba-lumba laut.
“Lumba-lumba di peraian Gangga merupakan salah satu cabang evolusi paling kuno yang berasal dari paus bergigi. Temuan kami menunjukkan bahwa intensitas suara dan frekuensi pada lumba-lumba sungai, merupakan tahap awal perkembangan dari kemampuan biosonar yang saat ini dimiliki oleh lumba-lumba laut,” ungkap salah seorang mahasiswa doctoral Natural Science (NFU) di WHOI.
Peneliti mengklaim perbedaan antara lumba-lumba air tawar dengan lumba-lumba laut dikarenakan lingkungan tempat mereka tinggal. Lumba-lumba laut biasanya melintasi hamparan luas laut terbuka sehingga lebih mudah mencari makanan, sedangkan lumba-lumba sungai mengalami kesulitan saat mencari makanan yang berupa ikan kecil dan krustasea dengan jumlah sedikit.
Lumba-lumba sungai memetakan lingkungannya menggunakan biosonar. Ia akan terus memancarkan suaranya untuk dapat mendengarkan pantulan gema yang samar terdengar. Suara yang dipantulkan kembali mendandakan daerah-daerah yang memiliki persediaan makanan untuk lumba-lumba sungai.
Jenis lumba-lumba sungai yang terancam punah, saat ini hanya memiliki jumlah sekira seribu spesies. Selain karena kesulitan makanan, hal ini juga disebabkan ekosistem sungai yang semakin tercemar serta penangkapan secara berlebihan oleh manusia.
0 komentar:
Posting Komentar