25 Januari 2013

Langkah Google Membangun Ekosistem di Indonesia

Sekitar sepuluh bulan sudah Google memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Sepanjang jangka waktu tersebut, sejumlah insiatif telah mereka lakukan di berbagai bidang. Menariknya, sebagian besar di antaranya tidak terlihat berorientasi profit.
Kita ambil contoh inisiatif Google yang digelar awal tahun ini, yakni kampanye “Bisnis Lokal Go Online”. yang menyediakan platform cuma-cuma bagi pebisnis UKM tanah air agar bisa berjualan secara online.
Inisiatif nonprofit lainnya terlihat pada peluncuran Google Art Project, situs berisi koleksi seni dan bersejarah dari ratusan museum di dunia–salah satunya Museum Nasional Jakarta.
Tak ketinggalan juga Google Open Spaces, proyek yang menyasar para seniman grafis untuk menuangkan ide kreatif mereka pada “tembok virtual”, layaknya corat-coret grafiti di jalanan.
Ketiga inisiatif tersebut tidak berdampak langsung secara ekonomis terhadap Google. Tapi, yang lebih penting adalah pembangunan ekosistem pengguna. Pasalnya, mereka makin dapat merasakan manfaat layanan-layanan Google untuk kehidupan mereka.

Membentuk Kultur
Sejauh ini, langkah Google di Indonesia masih sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Rudy Ramawy (Country Manager Google Indonesia), “Tujuan besar kami adalah bersama membangun ekosistem internet Indonesia dan membantu meningkatkan kualitas hidup, perkembangan ekonomi, dan pendidikan.”
Berkaitan dengan poin terakhir, Google telah memulai inisiatif terbarunya, yaitu Google Apps for Education. Secara garis besar, program ini menawarkan sejumlah layanan unggulan Google yang dikemas dalam satu paket dan bisa digunakan secara gratis oleh institusi pendidikan.
Layanan yang tercakup dalam paket Google Apps for Education meliputi Gmail, Docs, Drive, Calendar, dan Sites. Kelimanya dapat dipakai oleh pengajar, staf, dan pelajar dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.
Untuk keperluan surat-menyurat, misalnya. Pada sistem manajemen e-mail yang dikelola sendiri, kerap muncul masalah seperti keterbatasan kapasitas e-mail, serangan spam dan malware, serta kerusakan server.
“Kalau pakai Gmail, admin TI tidak perlu repot lagi karena semuanya dikelola Google. Kapasitasnya juga besar, 25GB,” kata Pepita Gunawan (Indonesian Education Lead, Google South East Asia). Menariknya, akun Gmail ini dapat dikustomisasi domainnya sesuai nama institusi.
Pelajar juga difasilitasi untuk berkolaborasi online melalui Google Docs dan Drive. Dua layanan ini bisa dipakai saat mengerjakan tugas secara berbarengan, tanpa harus berada pada tempat yang sama. “Selama [pelajar] punya device dan koneksi internet, tugas bisa dikerjakan di Google Docs. Di Google Drive, bisa menaruh file besar,” imbuh Pepita.
Layanan lainnya seperti Calendar dapat digunakan untuk menyimpan jadwal pelajaran/mata kuliah atau deadline tugas serta terintegrasi dengan e-mail, sementara Sites dipakai untuk membuat situs sederhana (misalnya situs himpunan mahasiswa dan ekstrakurikuler).
Melalui program ini, Google bertujuan untuk membentuk suatu kultur untuk berkolaborasi online. Harapannya, setelah lulus, para pelajar ini sudah terbiasa dan kemudian menyebarkan pola pikir ini kepada rekan-rekan kerjanya. Pada jangka panjang, terciptalah ekosistem pengguna internet yang akrab dengan kolaborasi online.

Untuk Semua Tingkatan
Inisiatif Google Apps for Education sebetulnya sudah dijalankan sejak beberapa tahun lalu. Dimulai dari benua Afrika, Timur Tengah, lalu terus merambah ke Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik–salah satunya di Indonesia.
Sejak Google resmi masuk ke tanah air, mereka mulai berkeliling mencari institusi pendidikan yang mau diajak bekerjasama. Beberapa perguruan tinggi sudah ikut serta, seperti Universitas Petra, Universitas Surabaya, London School of Public Relations, dan Universitas Krida Wacana. Tapi, implementasi dalam skala yang cukup besar baru terlaksana pada awal November lalu, saat Google mengumumkan kerja sama dengan Universitas Brawijaya.
“Berkat Google Apps for Education, 45 ribu mahasiswa dan pengajar Universitas Brawijaya bisa mengakses cara baru berkirim e-mail dan berkolaborasi online,” papar Raden Arief Setiawan (Kepala Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi Universitas Brawijaya).
”Admin TI juga menyukainya karena keterbukaan sistem, kemudahan akses, dan integrasi ke sistem yang sudah ada, tanpa perlu membeli hardware dan lisensi software baru," imbuh Arief.
Google Apps for Education terbuka untuk semua tingkat institusi pendidikan. Pihak sekolah/kampus yang berminat dapat mengajukan diri lewat pendaftaran online di situsnya. Tapi, dalam jangka pendek, tampaknya layanan ini masih berfokus pada level perguruan tinggi. “Inginnya, sih, 4 juta mahasiswa Indonesia bisa ada di platform Google,” tukas Pepita mengungkapkan harapannya.

0 komentar: