Sekitar sepuluh bulan sudah Google memiliki
kantor perwakilan di Indonesia. Sepanjang jangka waktu tersebut, sejumlah
insiatif telah mereka lakukan di berbagai bidang. Menariknya, sebagian besar di
antaranya tidak terlihat berorientasi profit.
Kita ambil contoh inisiatif Google yang
digelar awal tahun ini, yakni kampanye “Bisnis Lokal Go Online”. yang menyediakan
platform cuma-cuma bagi pebisnis UKM tanah air agar bisa berjualan secara online.
Inisiatif nonprofit lainnya terlihat
pada peluncuran Google Art Project, situs berisi koleksi seni dan bersejarah
dari ratusan museum di dunia–salah satunya Museum Nasional Jakarta.
Tak
ketinggalan juga Google Open Spaces, proyek yang menyasar para seniman grafis untuk
menuangkan ide kreatif mereka pada “tembok virtual”, layaknya corat-coret
grafiti di jalanan.
Ketiga inisiatif tersebut tidak
berdampak langsung secara ekonomis terhadap Google. Tapi, yang lebih penting
adalah pembangunan ekosistem pengguna. Pasalnya, mereka makin dapat merasakan
manfaat layanan-layanan Google untuk kehidupan mereka.
Membentuk Kultur
Sejauh ini, langkah Google di Indonesia
masih sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Rudy Ramawy (Country Manager
Google Indonesia), “Tujuan besar kami adalah bersama membangun ekosistem
internet Indonesia dan membantu meningkatkan kualitas hidup, perkembangan ekonomi,
dan pendidikan.”
Berkaitan dengan poin terakhir, Google
telah memulai inisiatif terbarunya, yaitu Google Apps for Education. Secara garis
besar, program ini menawarkan sejumlah layanan unggulan Google yang dikemas
dalam satu paket dan bisa digunakan secara gratis oleh institusi pendidikan.
Layanan yang tercakup dalam paket Google
Apps for Education meliputi Gmail, Docs, Drive, Calendar, dan Sites. Kelimanya
dapat dipakai oleh pengajar, staf, dan pelajar dalam kegiatan belajar-mengajar
sehari-hari.
Untuk keperluan surat-menyurat,
misalnya. Pada sistem manajemen e-mail
yang dikelola sendiri, kerap muncul masalah seperti keterbatasan kapasitas e-mail, serangan spam dan malware, serta
kerusakan server.
“Kalau pakai Gmail, admin TI tidak perlu repot lagi karena
semuanya dikelola Google. Kapasitasnya juga besar, 25GB,” kata Pepita Gunawan (Indonesian
Education Lead, Google South East Asia). Menariknya, akun Gmail ini dapat
dikustomisasi domainnya sesuai nama institusi.
Pelajar juga difasilitasi untuk
berkolaborasi online melalui Google
Docs dan Drive. Dua layanan ini bisa dipakai saat mengerjakan tugas secara berbarengan,
tanpa harus berada pada tempat yang sama. “Selama [pelajar] punya device dan koneksi internet, tugas bisa
dikerjakan di Google Docs. Di Google Drive, bisa menaruh file besar,” imbuh Pepita.
Layanan lainnya seperti Calendar dapat
digunakan untuk menyimpan jadwal pelajaran/mata kuliah atau deadline tugas serta terintegrasi dengan
e-mail, sementara Sites dipakai untuk
membuat situs sederhana (misalnya situs himpunan mahasiswa dan
ekstrakurikuler).
Melalui program ini, Google bertujuan
untuk membentuk suatu kultur untuk berkolaborasi online. Harapannya, setelah lulus, para pelajar ini sudah terbiasa dan
kemudian menyebarkan pola pikir ini kepada rekan-rekan kerjanya. Pada jangka
panjang, terciptalah ekosistem pengguna internet yang akrab dengan kolaborasi online.
Untuk Semua Tingkatan
Inisiatif Google Apps for Education
sebetulnya sudah dijalankan sejak beberapa tahun lalu. Dimulai dari benua
Afrika, Timur Tengah, lalu terus merambah ke Eropa, Amerika, dan Asia
Pasifik–salah satunya di Indonesia.
Sejak Google resmi masuk ke tanah air, mereka
mulai berkeliling mencari institusi pendidikan yang mau diajak bekerjasama.
Beberapa perguruan tinggi sudah ikut serta, seperti Universitas Petra,
Universitas Surabaya, London School of Public Relations, dan Universitas Krida
Wacana. Tapi, implementasi dalam skala yang cukup besar baru terlaksana pada
awal November lalu, saat Google mengumumkan kerja sama dengan Universitas
Brawijaya.
“Berkat Google Apps for Education, 45
ribu mahasiswa dan pengajar Universitas Brawijaya bisa mengakses cara baru berkirim
e-mail dan berkolaborasi online,” papar Raden Arief Setiawan
(Kepala Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi Universitas Brawijaya).
”Admin TI juga menyukainya karena keterbukaan sistem, kemudahan akses, dan integrasi
ke sistem yang sudah ada, tanpa perlu membeli hardware dan lisensi software
baru," imbuh Arief.
Google Apps for Education terbuka untuk
semua tingkat institusi pendidikan. Pihak sekolah/kampus yang berminat dapat
mengajukan diri lewat pendaftaran online
di situsnya. Tapi, dalam jangka pendek, tampaknya layanan ini masih berfokus
pada level perguruan tinggi. “Inginnya, sih,
4 juta mahasiswa Indonesia bisa ada di platform Google,” tukas Pepita mengungkapkan
harapannya.
0 komentar:
Posting Komentar